Ilmu tafsir adalah ilmu yang mengkaji tentang pemahaman Alquran, menerangkan maknanya, menggali hukumnya, serta menjelaskan ibrah yang terdapat di dalamnya. Ilmu ini lebih menitikberatkan pada firman Allah Swt yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Secara bahasa, tafsir berasal dari kata al-fasru yang berarti jelas dan nyata. Dalam Lisan al-Arab, Ibnu Manzur menyebutkan, al-fasru berarti membuka tabir, sedangkan at-tafsir berarti menyibak makna dari kata yang tidak dimengerti.
Dari definisi tersebut, maka tafsir bisa dimaknai sebagai upaya membuka tabir untuk sesuatu yang kasat mata dan menyingkap maknanya. Dalam buku Al-Maqayis fi al-Lughah, Ahmad Ibnu Faris menyatakan bahwa ilmu tafsir mengandung makna keterbukaan dari kejelasan.
Artinya, makna tersebut dapat dijangkau dan dipahami oleh akal pikiran manusia. Agar lebih memahaminya, berikut penjelasan tentang ilmu tafsir yang bisa Anda simak.
Pengertian Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir adalah ilmu penting yang harus dipelajari umat Islam. Melalui ilmu tafsir, seseorang bisa memahami pesan yang disampaikan oleh Allah Swt kepada hamba-Nya. Sehingga, keimanan pun akan bertambah dalam dirinya.
Orang yang mempelajari ilmu tafsir disebut sebagai mufassir. Mengutip buku Kaidah Tafsir oleh M. Quraish Shihab (2019), para mufassir ditakdirkan untuk beristinbath atau menemukan makna dalam ayat-ayat Alquran.
Ilmu tafsir juga biasa disebut dengan ilmu takwil. Penamaan ini didasari pada kitab pertama yang diciptakan oleh Imam At-Thabari yang berjudul Jami’ul bayan ‘An Ta’wili Ayi Al-quran.
Dalam menafsirkan Alquran, para ulama dari semua kalangan dan generasi Ulumul Quran selalu berpegang teguh pada empat hal, yaitu Alquran Karim, Nabi SAW, para sahabat, dan ijtihad ulama.
Tafsir Alquran dapat dibedakan menjadi tiga klasifikasi, yakni sumber penafsiran (al- mashdar), sistematika penyajian tafsir (al-manhaj), dan corak penafsiran (al-laun). Adapun syarat bagi seorang mufassir yang harus dipenuhi yaitu:
1. Sehat akidah
Seorang yang memiliki akidah menyimpang tentu tidak dibenarkan dalam Islam, sehingga ia tidak diperkenankan menjadi seorang mufassir. Kitab yang diklaim sebagai tafsir, sedangkan penulisnya menyimpang dari aqidah ahlusunnah wal jamaah, tidak diakui sebagai kitab tafsir.
2. Terbebas dari hawa nafsu
Menurut Ahmad Sarwat dalam buku Ilmu Tafsir, seorang mufassir diharamkan menggunakan hawa nafsu untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan jamaah ketika menafsirkan ayat-ayat Alquran. Ia tidak boleh menyimpan dendam, cemburu, trauma, dan perasaan-perasaan yang membuatnya menjadi tidak objektif.
3. Menafsirkan Alquran dengan Alquran
Karena Alquran turun dari satu sumber, maka tiap ayat bisa menjadi penjelas bagi ayat lainnya. Seorang mufassir hendaknya menggunakan ayat Alquran dalam menafsirkan ayat lainnya. Tidak diperkenankan baginya menggunakan sumber lain yang tidak kredibel.